Main My profile Sign Up Log out Login
Dazdo Website
Friday
17.5.2024
4:55:41 AM
HORAS Guest | RSS LoginSign UpMain
MENU
Section categories
IPTEK [4]
FUN [3]
PENDIDIKAN [2]
TOOLS [0]
yang lagi OL (mabukka web)

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Link na asing (other link)
  • DJ SAMM 88
  • PURBA zOnE
  • UCOK MEDAN
  • Be Health
  • Flag Counter
    Main » 2013 » February » 20

    Penerapan Metode Drill dalam Pembelajaran

    Metode drill adalah suatu cara mengajar dimana siswa melaksanakan kegiatan-kegiatan latihan agar memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang dipelajari.
    Dalam buku Nana Sudjana, metode drill adalah suatu kegiatan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi bersifat permanen. Ciri yang khas dari metode ini adalah kegiatan berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama.
    Dengan demikian terbentuklah pengetahuan-siap atau ketrampilan-siap yang setiap saat siap untuk di pergunakan oleh yang bersangkutan.
    Bentuk-bentuk metode drill dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk teknik, antara lain teknik Inquiry (kerja kelompok), Discovery (penemuan), Micro Teaching, Modul Belajar, dan Belajar Mandiri.
    Tujuan penggunaan metode drill adalah agar siswa:
    1. Memiliki kemampuan motoris/gerak, seperti menghafalakan kata-kata, menulis, mempergunakan alat.
    2. Mengembangkan kecakapan intelek, seperti mengalikan, membagi, menjumlahkan.
    3. Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan yang lain.
    Penerapan metode drill dalam pembelajaran hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
    1. Sebelum diadakan latihan tertentu, terlebih dahulu siswa harus diberi pengertian yang mendalam.
    2. Latihan untuk pertama kalinya hendaknya bersikap diagnostik:
    1)  Pada taraf permulaan jangan diharapkan reproduksi yang sempurna.
    2)  Dalam percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul.
    3)  Respon yang benar harus diperkuat.
    4)  Baru kemudian diadakan variasi, perkembangan arti dan kontrol
    1. Masa latihan secara relatif singkat, tetapi harus sering dilakukan.
    2. Pada waktu latihan harus dilakukan proses essensial.
    3. Di dalam latihan yang pertama-tama adalah ketepatan, kecepatan dan pada akhirnya kedua-duanya harus dapat tercapai sebagai kesatuan.
    4. Latihan harus memiliki arti dalam rangka tingkah laku yang lebih luas.
    1)  Sebelum melaksanakan, siswa perlu mengetahui terlebih dahulu arti latihan itu.
    2)  Ia perlu menyadari bahwa latihan-latihan itu berguna untuk kehidupan selanjutnya.
    3)  Ia perlu mempunyai sikap bahwa latihan-latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar.
    Kepustakaan:
    Nana, Sudjana. 1991. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
    Muhaimin, Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya Roestiyah, NK. 1989. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara
    Winarno, Surakhmad. 1994. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito
    Views: 431 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Teori Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi

    Di samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
    Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
    Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
    Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
    1. Nativisme
    Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
    Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa "yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
    Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
    Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
    2. Empirisme
    Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
    Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
    Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori "Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
    Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
    3. Konvergensi
    Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
    Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
    Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ... Read more »
    Views: 500 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Team Games Tournament (TGT)

    Pembelajaran Team Games Tournament (TGT) adalah suatu metode pembelajaran kooperatif yang di dalamnya terdapat unsur permainan akademik atau turnamen untuk mengganti tes individu. Sehingga siswa tidak merasakan bosan karena ada unsur turnamen. Metode ini merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Hal ini dijelaskan oleh Slavin bahwa pembelajaran kooperatif meliputi: Student Team Achievment Division (STAD), Team Assisted Individualization, Team Assisted Individualization, Cooperative Integrated Reading and Composition, Jigsaw, Group Investigation, Learning Together, Complex Instruction, Structur Dyadic Methods dan Team Games Tournament.
    Oleh karena itu, sebelum membahas lebih lanjut tentang teori pembelajaran dengan metode Teams Game Tournament, maka akan dibahas dahulu pembelajaran cooperatif (cooperative learning).
    Langkah-langkah metode pembelajaran tipe Team Games Tournament, menurut Slavin terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: tahap Presentasi di kelas, Tim, Game, Turnamen, dan Rekognisi Tim (Robert E. Slavin, 2001: 166-167).
    Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka pembelajaran cooperative learning tipe team games tournament memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
    a.  Tim
    Tim terdiri dari empat, lima siswa atau lebih yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya tim berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan lainnya. Yang paling sering terjadi pembelajaran itu melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan.
    b.  Game
    Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut dimainkan di muka meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili timyang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban masing-masing (Robert E. Slavin, 2001:144).
    Dalam permainan ini setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari kelompoknya. Siswa yang mewakili kelompoknya, masing-masing ditempatkan dalam meja-meja turnamen. Tiap meja turnamen ditempati 5, 6 orang siswa atau lebih, dan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Dalam setiap meja turnamen diusahakan setiap peserta homogen.
    Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu permainan dimulai dengan membagikan kartu-kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh terbalik di muka meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca). Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama, setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain. Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditangapi oleh penantang searah jarum jam. Setelah itu pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada pemain yang menjawab benar atau penantang yang pertama kali memberikan jawaban benar.
    Jika semua pemain menjawab salah maka kartu dibiarkan saja. Permainan dilanjutkan pada kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan, dimana posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain, dan penantang. Disini permainan dapat dilakukan berkali-kali dengan syarat bahwa setiap peserta harus mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemain, penantang, dan pembaca soal.
    Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban pada peserta lain. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. . Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan poin yang diperoleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.
    c.  Turnamen
    Turnamen adalah sebuah struktur dimana game berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar kegiatan. Pada turnamen pertama guru menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen 3, siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja satu, tiga berikutnya pada meja dua dan seterusnya.
    d.  Rekognisi Tim
    Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rerata skor kelompok. Untuk memilih rerata skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok. Pemberian penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut. Dimana penentuan poin yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok didasarkan pada jumlah kartu yang diperoleh.
    Peran guru dalam menciptakan dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sangat dominan sehingga kualitas dan keberhasilan kegiatan pembelajaran sering bergantung kepada kreatifitas guru dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran. Kreatifitas dan kemampuan dalam pemilihan model pembelajaran merupakan kemampuan dan keterampilan mendasar yang harus dimiliki guru. Hal ini didasari asumsi bahwa ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.



    Kepustakaan:
    Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2005
    E. Slavin, Robert. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa media, 2001
    Hamruni. Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif-Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
    Suprijono, Agus. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM ... Read more »
    Views: 434 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (1)

    Upaya untuk meningkatkan pembelajaran Siswa dengan menggunakan Strategi Everyone Is A Teacher Here

    Strategi Everyone Is A Teacher Here yaitu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa, dan dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembelajaran pada berbagai mata pelajaran, khususnya mencapaian tujuan yaitu meliputi aspek: kemampuan mengemukakan pendapat, kemampuan menganal masalah, kemampuan menuliskan pendapat-pendapatnya (kelompoknya) setelah melakukan pengamatan, kemampuan menyimpulkan, dan lain-lain.
    Dalam Strategi Everyone Is A Teacher Here terdapat tujuh prinsip pokok yang harus diterapkan oleh seorang guru dalam hal strategi pengajaran, yaitu:
    1. Mengetahui motivasi, kebutuhan, dan minat anak didiknya
    2. Mengetahui tujuan pendidikan yang sudah diterapkan sebelum pelaksanaan pendidikan
    3. Mengetahui tahap kematangan (maturity), perkembangan, serta perubahan anak didik
    4. Mengetahui perbedaan-perbedaan individu anak didik
    5. Memperhatikan pemahaman dan mengetahui hubungan-hubungan, dan kebebasan berfikir
    6. Menjadikan proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan bagi anak didik
    7. Menegakkan contoh yang baik (uswatun hasanah), sehingga tujuan penerapan strategi ini adalah membiasakan peserta didik untuk belajar aktif secara individu dan membudayakan sifat berani bertanya, tidak minder dan tidak takut salah.
    Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa fungsi strategi pendidikan adalah mengarahkan keberhasilan belajar dan memberikan kemudahan kepada anak didik. Sedangkan, tugas utamanya adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan pedagogis agar anak didik dapat menghayati, mengetahui, dan mengerti materi yang diajarkan. Selain itu, tugas utama dalam strategi tersebut adalah membuat perubahan tingkah laku, sikap, minat anak didik kepada perubahan yang nyata.
    Penerapan strategi Everyone Is A Teacher Here dimulai dari guru untuk mempersiapkan bahan pengajaran, berupa "bacaan” sesuai dengan Pokok Bahasan atau materi yang akan diajarkan. Penerapan strategi tersebut digunakan model strategi sebagai berikut:
    1. Bagikan kertas kepada setiap peserta didik dan mintalah mereka untuk menuliskan sebuah pertanyaaan tentang materi dan mintalah mereka untuk menuliskan sebuah pertanyaan tentang materi pokok yang telah atau sedang dipelajari, atau topik khusus yang ingin mereka diskusikan dalam kelas.
    2. Kumpulkan kertas-kertas tersebut, dikocok dan dibagikan kembali secara acak kepada masing-masing peserta didik dan diusahakan pertanyaan tidak kembali kepada yang bersangkutan.
    3. Mintalah mereka membaca dan memahami pertanyaan di kertas masing-masing sambil memikirkan jawabannya.
    4. Undang sukarelawan (volunter) untuk membacakan pertanyaan yang ada di tangannya (untuk menciptakan budaya bertanya, upayakan memotivasi siswa untuk angkat tangan bagi yang siap membaca tanpa langsung menunjuknya).
    5. Mintalah dia memberikan respon (jawaban/penjelasan) atas pertanyaan atau permasalahan tersebut, kemudian mintalah kepada teman sekelasnya untuk memberi pendapat atau melengkapi jawabannya.
    6. Berikan apresiasi pujian terhadap setiap jawaban/tanggapan siswa agar termotivasi dan tidak takut salah.
    7. Kembangkanlah diskusi secara lebih lanjut dengan cara siswa bergantian membacakan pertanyaan di tangan msing-masing sesuai waktu yang tersedia.
    8. Guru melakukan kesimpulan, klarifikasi, dan tindak lanjut.
    Dengan demikian, melalui Strategi Everyone Is A Teacher Here tersebut, hasil yang diharapkan adalah:
    1. Setiap diri masing-masing siswa berani mengemukakan pendapat (menyatakan dengan benar) melalui jawaban atas pertanyaan yang telah di buatnya berdasarkan sumber bacaan yang di berikan
    2. Mampu mengemukakan pendapat melalui tulisan dan menyatakannya di depan kelas
    3. Siswa lain, berani mengemukakan pendapat dan menyatakan kesalahan jawaban dari kelompok lain yang disanggah
    4. Terlatih dalam menyimpulkan masalah dan hasil kajian pada masalah yang dikaji.


    Kepustakaan:
    Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
    Ismail, 2008. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: RaSAIL Media Group
    Views: 512 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Penerapan Sistem Moving Class

    Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar adalah dengan menggunaan sistem moving class (kelas berpindah). Dalam sistem moving class ini, ruang-ruang kelas ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, dan berbagai aspek yang dibutuhkan sesuai karakteristik mata pelajaran tertentu, diatur sedemikian rupa dalam kelas tersebut. Sehingga ada kelas matematika, kelas sains, kelas bahasa, kelas seni budaya, dan sebagainya.
    Pada jam pelajaran matematika misalnya, siswa akan memasuki ruang pembelajaran matematika dan ketika pergantian pelajaran seni budaya, siswa akan berpindah tempat memasuki ruang seni budaya untuk mengikuti pembelajaran, dan seterusnya.
    Penggunaan sistem moving class seperti ini memiliki beberapa keuntungan, sebagai berikut:
    1. Atmosfir dan tatanan kelas dapat memperlancar aktivitas dan proses pembelajaran. Semua elemen dalam kelas menjadi semacam reinforcer (penguat) dan stimulator untuk membangkitkan gairah dan aktivitas belajar terhadap mata pelajaran tertentu
    2. Memungkinkan penggunaan sarana, fasilitas, serta berbagai media dan peralatan belajar secara lebih efisien. Media dan peralatan pembelajaran sains misalnya, tidak perlu ada di semua kelas, semua kebutuhan pembelajaran mata pelajaran tersebut cukup ditempatkan dan ditata khusus pada kelas tertentu. Demikian pula kebutuhan media dan alat bantu belajar pada mata pelajaran lainnya ditata khusus pada kelas tersendiri.
    3. Setiap hari, siswa dapat menikmati dan mengalami proses belajar pada tempat dan lingkungan belajar yang bervariasi. Mobilitas gerak seperti ini dapat menghindarkan siswa dari kejenuhan akibat tata ruang kelas yang monoton
    4. Pergerakan-pergerakan yang dialami siswa saat perpindahan kelas memingkinkan terjadinya interaksi yang lebih aktif dan hidup di kalangan siswa. Ini dapat menstimulasi dan mengembangkan sikap-sikap empati, kerjasama, kepedulian, dan berbagai sikap proporsial siswa lainnya.
    Selain keuntungan atau kelebihan moving class seperti dijelaskan di atas, sistem ini memiliki pula beberapa kekurangan, antara lain:
    • Siswa tidak memiliki ruang privasi untuk menempatkan benda-benda atau barang milik kelas, misalnya piala atau piagam yang diraih dalam perlombaan antar kelas. Karena prinsip moving kelas tidak mengenal kelas permanen.
    • Tanggung jawab terhadap kebersihan dan penataan kelas sering mengalami benturan, karena banyaknya kelas yang menggunakan ruang tersebut pada hari yang sama.

    Views: 480 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas

    Contextual Teaching & Learning (CTL) dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
    1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
    2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
    3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
    4. Ciptakan masyarakat belajar.
    5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
    6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
    7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
    Dalam menerapkan pembelajaran kontekstual di kelas, seorang guru harus memerhatikan tujuh komponen CTL sebagai berikut:
    1.  Konstruktivisme
    1. Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
    2. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses "mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
    2.  Inquiry
    1. Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
    2. Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
    3.  Questioning (Bertanya)
    1. Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
    2. Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
    4.  Learning Community (Masyarakat Belajar)
    1. Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
    2. Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
    3. Tukar pengalaman.
    4. Berbagi ide.
    5.  Modeling (Pemodelan)
    1. Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
    2. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
    6.  Reflection (Refleksi)
    1. Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
    2. Mencatat apa yang telah dipelajari.
    3. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
    7.  Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya)
    1. Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
    2. Penilaian produk (kinerja).
    3. Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.



    Sumber:
    Direktorat PSMP, 2006. Pengembangan Model Pembelajaran yang Efektif. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas.
    Views: 522 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

    A. Latar Belakang
    Kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan utama dalam proses pendidikan pada umumnya yang bertujuan membawa anak didik atau siswa menuju pada keadaan yang lebih baik. Keberhasilan suatu proses pembelajaran dari ketercapaian siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Keberhasilan yang dimaksud dapat diamati dari dua sisi yaitu dari tingkat pemahaman dan penguasaan materi yang diberikan oleh guru (Sudjana, 2001).
    Salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan belajar siswa, yaitu dengan menggunakan pembelajaran aktif di mana siswa melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan. Siswa menggunakan otak untuk melakukan pekerjaannya, mengeluarkan gagasan, memecahkan masalah dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung dan menarik hati dalam belajar untuk mempelajari sesuatu dengan baik. Belajar aktif membantu untuk mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu dan mendiskusikannya dengan yang lain. Dalam belajar aktif yang paling penting bagi siswa perlu memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan dan mengerjakan tugas-tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang akan dicapai (Silberman, 2001).
    Dalam melaksanakan proses belajar mengajar diperlukan langkah-langkah sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal yang harus dilakukan dengan menggunakan metode yang cocok dengan kondisi siswa agar siswa dapat berpikir kritis, logis, dan dapat memecahkan masalah dengan sikap terbuka, kreatif, dan inovatif. Dalam pembelajaran dikenal berbagai model pembelajaran salah satunya adalah pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Sebagian guru berpikir bahwa mereka sudah menerapkan cooperative learning tiap kali menyuruh siswa bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil. Tetapi guru belum memperhatikan adanya aktivitas kelas yang terstruktur sehingga peran setiap anggota kelompok belum terlihat.
    Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah antara lain adalah : 1) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi; 2) Memperbaiki kehadiran; 3) Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar; 4) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil; 5) Konflik antara pribadi berkurang; 6) Pemahaman yang lebih mendalam; 7) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi; 8) Hasil belajar lebih tinggi (Ibrahim, 2000).
    Numbered Heads Together pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok. Ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya, tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok itu. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa, cara ini juga merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok.
    B. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
    1. Pengertian Belajar
    Sebagian besar ahli berpendapat bahwa belajar adalah merupakan proses perubahan, dimana perubahan tersebut merupakan hasil dari pengalaman. Dengan perkembangan teknologi informasi, belajar tidak hanya diartikan sebagai suatu tindakan terpisah dari kehidupan manusia. Banyak ilmuwan yang mengatakan belajar menurut sudut pandang mereka.
    Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dari segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu dengan menguasai prinsip-prinsip dasar tentang belajar, seseorang mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.
    Menurut Slameto (1995:2) belajar adalah "suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Selanjutnya Winkel (1996:53) belajar adalah "suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstant.” Kemudian Hamalik (1983:28) mendefinisikan belajar adalah "suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.”
    Berdasarkan definisi-definisi tersebut batasan-batasan belajar dapat disimpulkan sebagai berikut.
    • Suatu aktivitas atau usaha yang disengaja
    • Aktivitas tersebut menghasilkan perubahan, berupa sesuatu yang baru baik yang segera nampak atau tersembunyi tetapi juga hanya berupa penyempurnaan terhadap sesuatu yang pernah dipelajari.
    • Perubahan-perubahan itu meliputi perubahan keterampilan jasmani, kecepatan perseptual, isi ingatan, abilitas berpikir, sikap terhadap nilai-nilai dan inhibisi serta lain-lain fungsi jiwa (perubahan yang berkenaan dengan aspek psikis dan fisik).
    • Perubahan tersebut relatif bersifat konstan.
    2. Hasil Belajar
    Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Kingsley (Sudjana, 2001: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu : (a) keterampilan dan kebiasaan; (b) pengetahuan dan pengertian; (c) sikap dan cita-cita yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah.
    Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:
    a. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia.
    Faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor biologis antara lain usia, kematangan dan kesehatan, sedangkan faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat dan kebiasaan belajar.
    b. Faktor yang bersumber dari luar manusia.
    Faktor ini diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor manusia dan faktor non manusia seperti alam, benda, hewan, dan lingkungan fisik.
    Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan berpikir, ranah afektif berhubungan dengan kemampuan perasaan, sikap dan kepribadian, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan persoalan keterampilan motorik yang dikendalikan oleh kematangan psikologis (Hasan et all, 1991:23-27).
    3. Model Pembelajaran Kooperatif
    Arends (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Ibrahim et al, 2000:2).
    Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengoganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Trianto, 2007:7). Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pem ... Read more »
    Views: 524 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Teknik Tes dan Non Tes dalam Evaluasi

    A. Teknik Tes
    Ada dua macam teknik yang dapat digunakan dalam melaksanakan evaluasi, yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes meliputi tes lisan, tes tertulis dan tes perbuatan. Tes lisan dilakukan dalam bentuk pertanyaan lisan di kelas yang dilakukan pada saat pembelajaran di kelas berlangsung atau di akhir pembelajaran. Tes tertulis adalah tes yang dilakukan tertulis, baik pertanyaan maupun jawabannya. Sedangkan tes perbuatan atau tes unjuk kerja adalah tes yang dilaksanakan dengan jawaban menggunakan perbuatan atau tindakan.
    Evaluasi dengan menggunakan teknik tes bertujuan untuk mengetahui:
    a.  Tingkat kemampuan awal siswa
    b.  Hasil belajar siswa
    c.  Perkembangan prestasi siswa
    d.  Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
    Tes lisan dilakukan melalui pertanyaan lisan untuk mengetahui daya serap siswa. Tujuan tes lisan ini terutama untuk menilai:
    a.  Kemampuan memecahkan masalah
    b.  Proses berpikir terutama melihat hubungan sebab akibat
    c.  Kemampuan menggunakan bahasa lisan
    d.  Kemampuan mempertanggungjawabkan pendapat atau konsep yang dikemukakan.
    Tes tertulis dapat berbentuk uraian (essay) atau soal bentuk obyektif (objective tes). Tes uraian merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang menuntut siswa menjawab dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri.
    Cara-cara penyusunan tes esai yang dimaksud:
    1. Guru hendaknya memfokuskan pertanyaan esai pada materi pembelajaran yang tidak dapat diungkap dengan bentuk tes lain misalnya tes objektif
    2. Guru kendaknya memformulasikan item pertanyaan yang mengungkap perilaku spesifik yang diperoleh dari pengalaman hasil belajar.
    3. Item-item pertanyaan tes esai sebaiknya jelas dan tidak menimbulkan kebingungan sehingga siswa dapat menjawabnya dengan tidak ragu-ragu
    4. Sertakan petunjuk waktu pengerjaan untuk setiap pertanyaan, agar para siswa dapat memperhitungkan kecepatan berpikir, menulis dan menuangkan ide sesuai dengan waktu yang disediakan.
    5. Ketika mengontruksi sejumlah pertanyaan essai, para guru hendaknya menghindari penggunaan pertanyaan pilihan. Misalnya pilih empat soal dari lima pertanyaan yang tersedia.
    Menurut Sukardi (2008) kelebihan dan kelemahan tes esai, kelebihannya yaitu:
    1. Mengukur proses mental siswa dalam menuangkan ide ke dalam jawaban item secara tepat
    2. Mengukur kemampuan siswa dalam menjawab melalui kata dan bahasa mereka sendiri.
    3. Mendorong siswa untuk mempelajari, menyusun, merangkai, dan menyatakan pemikiran siswa secara aktif.
    4. Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat mereka sendiri.
    5. Mengetahui seberapa jauh siswa telah memahami dan mendalami suatu permasalahan atas dasar pengetahuan yang diajarkan di dalam kelas
    Kelemahan:
    1. Dalam memeriksa jawaban pertanyaan tes esai, ada kecenderungan pengaruh subjektif yang selalu muncul dalam pribadi seorang guru.
    2. Pertanyaan esai yang disusun oleh seorang guru atau evaluator cenderung kurang bisa mencakup seluruh materi yang telah diberikan
    3. Bentuk pertanyaan yang memiliki arti ganda, sering membuat kesulitan pada siswa sehingga memunculkan unsur-unsur menerka dan menjawab dengan ragu-ragu.
    Tes objektif banyak digunakan dalam menilai hasil belajar. Hal ini disebabkan antara lain oleh luasnya bahan pelajaran yang dapat dicakup dalam tes dan mudahnya menilai jawaban yang diberikan.
    1. Bentuk soal benar-salah
    Bentuk soal benar salah adalah bentuk tes yang soal-soalnya berupa pernyataan. Sebagian dari pernyataan itu merupakan pernyataan yang benar dan sebagian lagi merupakan pernyataan yang salah.
    Kelebihan betul salah yaitu;
    • Item tes betul salah memiliki karakteristik yang menguntungkan, yaitu mudah dan cepat dalam menilai
    • Untuk item betul salah yang dikonstruksi secara cermat, membawa implikasi kepada peserta didik, yaitu waktu mengerjakan soal lebih cepat diselesaikan
    • Seperti bentuk tes objektif lainnya, item tes benar salah hasil akhir penilaian dapat objektif
    Kelemahan betul salah;
    1. Mengonstruksi item tes betul salah pada umumnya diperlukan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan pembuatan tes essai
    2. Penggunaan pertanyaan alternatif lebih memungkinkan peserta didik mengira-ngira jawaban.
    2. Bentuk soal pilihan ganda atau pilihan jamak (multiple choice)
    Soal pilihan ganda adalah bentuk tes yang mempunyai satu jawaban yang benar atau paling tepat.
    Kelebihan bentuk soal pilihan ganda yaitu;
    1. Tes pilihan ganda memiliki karakteristik yang baik untuk suatu alat pengukur hasil belajar siswa
    2. Item tes pilihan ganda yang dikonstruksi dengan intensif dapat mencakup hampir seluruh bahan pembelajaran yang diberikan oleh guru di kelas.
    3. Item tes pilihan ganda adalah tepat untuk mengukur penguasaan informasi para siswa yang hendak dievaluasi.
    Kelemahan bentuk soal pilihan ganda yaitu;
    1. Mengonstruksi item tes betul salah pada umumnya diperlukan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan pembuatan tes essai
    2. Penggunaan pertanyaan alternative lebih memungkinkan peserta didik mengira-ngira jawaban.
    3. Bentuk soal menjodohkan (matching)
    Bentuk soal menjodohkan terdiri atas dua kelompok pernyataan yang paralel. Kedua kelompok pernyataan ini berada dalam satu kesatuan. Kelompok sebelah kiri merupakan bagian yang berisi soal-soal yang harus dicari jawabannya.
    Views: 467 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Metode Pembelajaran Model Simulasi

    Simulasi berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.
    Metode simulasi merupakan kegiatan pembelajaran dengan melakukan peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya atau proses. Metode ini dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan fenomena sosial untuk menguji reaksi mereka, serta memperoleh konsep keterampilan membuat keputusan. Pembelajaran simulasi cenderung objeknya bukan benda atau kegiatan sebenarnya, melainkan kegiatan bersifat pura-pura. Dalam pembelajaran, siswa dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok. Selain itu, dalam simulasi siswa diajak bermain peran beberapa perilaku yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.
    Metode simulasi bertujuan untuk: (1) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, (2) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari, (3) melatih memecahkan masalah, (4) meningkatkan keaktifan belajar, (5) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok, (6) menumbuhkan daya kreatif siswa, (7) memberikan motivasi belajar kepada siswa, dan (8) melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
    Ada beberapa jenis model simulasi di antaranya, yaitu:
    a.  Bermain peran (role playing)
    Dalam proses pembelajarannya metode ini mengutamakan pola permainan dalam bentuk dramatisasi. Dramatisasi dilakukan oleh kelompok siswa dengan mekanisme yang diarahkan guru. Simulasi ini lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mengingat atau menciptakan kembali gambaran masa silam yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang atau peristiwa aktual dan bermakna bagi kehidupan sekarang.
    b.  Sosiodrama
    Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah sosial menyangkut hubungan antara manusia. Misalnya, hubungan anak dan orangtua, masalah narkoba, tawuran, dan sebagainya. Sosiodrama dapat memberikan pemahaman dan penghayatan terhadap masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkannya.
    c.  Permainan simulasi (Simulasi game)
    Simulasi game adalah bermain peran, di mana para siswa berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan.
    Views: 451 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (0)

    Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

    Model pembelajaran Think-Paire-Share dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawan dari Universitas Maryland tahun 1985. Think-Paire-Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana yang memberi kesempatan kepada pada untuk siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan model pembelajaran ini, yaitu mampu mengoptimalkan partisipasi siswa (Lie, 2004:57).
    Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Paire-Share adalah:
    1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok.
    2. Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas sendiri.
    3. Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya.
    4. Kedua pasangan bertemu kemnali dalam kelompok berempat. Siswa berkesempatan  untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat (Lie, 2004:58).
    Think-Paire-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu (Nurhadi dkk, 2003:66). Setelah guru menyajikan suatu topik atau setelah siswa membaca suatu tugas, selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan permasalahan yang ada dalam topik/bacaan tersebut. Dalam model ini siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa lain dan mendiskusikannya, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas.
    Tahap utama dalam pembelajaran Think-Paire-Share menurut Ibrahim (2000:26-27) adalah sebagai berikut:
    Tahap 1. Thinking (berpikir)
    Guru mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan materi pelajaran. Kemudian siswa diminta memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
    Tahap 2. Pairing (berpasangan)
    Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, setiap anggota pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan merumuskan jawaban yang dianggap paling benar atau paling meyakinkan.
    Tahap 3. Sharing (berbagi)
    Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan, keterampilan berbagi dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela bersedia melapirkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran dengan pasangan hingga sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
    Model pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan komunikasi siswa, karena siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran masing-masing dan berbagi (berdiskusi) dengan pasangannya. Selanjutnya pasangan-pasangan tersebut harus berbagi dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang kecil mendorong setiap anggota untuk terlibat secara aktif.
    Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah: 
    1. Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan.
    2. Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah.
    3. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang.
    4. Siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar.
    5. Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran (Hartina, 2008: 12).
    Adapun kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah dan waktu yang terbatas, sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak (Hartina, 2008: 12). Menurut Lie (2005: 46), kekurangan dari kelompok berpasangan (kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa) adalah: 
    1.  Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor
    2.  Lebih sedikit ide yang muncul, dan
    3.  Tidak ada penengah jika terjadi perselisihan dalam kelompok.
    Category: PENDIDIKAN | Views: 487 | Added by: dazdo | Date: 2013 Feb 21 | Comments (1)

    Search (mangalului)

    Calendar (ari-ari)
    «  February 2013  »
    SuMoTuWeThFrSa
         12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728
    Entries (nahea ipamasuk)
    Other News
    Open Chat

    Copyright MyCorp © 2024
    Free website builderuCoz