MENU |
|
|
Section categories |
|
|
yang lagi OL (mabukka web) |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » Entries archive
VIVAnews - Sebuah studi baru menemukan bahwa manusia purba memilih rumput menjadi santapan makan malamnya. Melansir NPR, 5
Juni 2013, temuan baru itu didapat tim peneliti dari University of
Utah, Amerika Serikat, setelah bertahun-bertahun meneliti fosil gigi
manusia purba Australopithecus. "Kami menemukan isotop karbon
dengan kadar tertentu yang tersimpan di gigi manusia purba itu," kata
Thure Cerling, ahli geokimia dari University of Utah, AS. Dia
menambahkan, temuan dari gigi itu mengungkapkan bahwa 3,5 juta tahun
lampau, manusia purba melakukan perubahan perilaku makannya. "Manusia
purba telah beralih memakan daun dan rumput," ungkapnya. Temuan
terbaru ini sangat bertentangan dengan penelitian sebelumnya, yang
menyatakan manusia purba sangat suka memakan daging. Temuan baru ini pun
menuai perdebatan di kalangan ahli antropologi. Cerling pun
mengakui, isotop karbon yang ditemukan pada manusia purba
Australopithecus, bisa saja didapatkan setelah memakan kijang yang sudah
terlebih dahulu memakan daun dan rumput. "Tapi, temuan ini tetap
menarik. Perubahan pola makan ini telah memberi pengaruh kuat dalam
evolusi manusia," ujar Cerling. "Perubahan pola makan erat kaitannya
dengan evolusi ukuran otak dan kecerdasan manusia purba."
Dari
kiri ke kanan: susunan gigi simpanse, Australopithecus afarensis, dan
manusia modern. (William Kimbel/Institute of Human Origins)
Hasil penelitian ini telah diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences. (umi) source : http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/418468-rumput--santapan-makan-malam-manusia-purba
Category: IPTEK |
Views: 1108 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Jun 06
|
|
Category: IPTEK |
Views: 1317 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Jun 06
|
|
Category: IPTEK |
Views: 1001 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Jun 05
|
|
E-Learning
Gambaran Umum E-Learning
Sejarah dan Perkembangan E-learning E-pembelajaran atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illinois di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruction ) dan komputer bernama PLATO. Sejak itu, perkembangan E-learning dari masa ke masa adalah sebagai berikut: (1) Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan AUDIO) DALAM FORMAT mov, mpeg-1, atau avi. (2) Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara massal. (3) Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak , dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, SCORM, IEEE LOM, ARIADNE, dsb. (4) Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia , video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar, dan berukuran kecil. Definisi E-Learning Sekilas perlu kita pahami ulang apa e-Learning itu sebenarnya. ELearning adalah pembelajaran jarak jauh (distance Learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau Internet. E-Learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-Learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-Learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada. Ada beberapa pengertian berkaitan dengan e-Learning sebagai berikut : 1.Pembelajaran jarak jauh. E-Learning memungkinkan pembelajar untuk menimba ilmu tanpa harus secara fisik menghadiri kelas. Pembelajar bisa berada di Semarang, sementara "instruktur” dan pelajaran yang diikuti berada di tempat lain, di kota lain bahkan di negara lain. Interaksi bisa dijalankan secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved. Pembelajar belajar dari komputer di kantor ataupun di rumah dengan memanfaatkan koneksi jaringan lokal ataupun jaringan Internet ataupun menggunakan media CD/DVD yang telah disiapkan. Materi belajar dikelola oleh sebuah pusat penyedia materi di kampus/universitas, atau perusahaan penyedia content tertentu. Pembelajar bisa mengatur sendiri waktu belajar, dan tempat dari mana ia mengakses pelajaran. 2.Pembelajaran dengan perangkat komputer E-Learning disampaikan dengan memanfaatkan perangkat komputer. Pada umumnya perangkat dilengkapi perangkat multimedia, dengan cd drive dan koneksi Internet ataupun Intranet lokal. Dengan memiliki komputer yang terkoneksi dengan intranet ataupun Internet, pembelajar dapat berpartisipasi dalam e-Learning. Jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi tidak dibatasi dengan kapasitas kelas. Materi pelajaran dapat diketengahkan dengan kualitas yang lebih standar dibandingkan kelas konvensional yang tergantung pada kondisi dari pengajar. 3. Pembelajaran formal vs. informal E-Learning bisa mencakup pembelajaran secara formal maupun informal. E- Learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-Learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e- Learning untuk umum. E-Learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e- newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya). 4. Pembelajaran yang ditunjang oleh para ahli di bidang masing-masing. Walaupun sepertinya e-Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari para ahli di bidang masing-masing, yaitu: 1. Subject Matter Expert (SME) atau nara sumber dari pelatihan yang disampaikan. 2. Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-Learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari. 3. Graphic Designer (GD), mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari. 4. Ahli bidang Learning Management System (LMS). Mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya. Di sini, pembelajar bisa melihat modul-modul yang ditawarkan, bisa mengambil tugas-tugas dan test-test yang harus dikerjakan, serta melihat jadwal diskusi secara maya dengan instruktur, nara sumber lain, dan pembelajar lain. Melalui LMS ini, siswa juga bisa melihat nilai tugas dan test serta peringkatnya berdasarkan nilai (tugas ataupun test) yang diperoleh. E-Learning tidak diberikan semata-mata oleh mesin, tetapi seperti juga pembelajaran secara konvensional di kelas, e-Learning ditunjang oleh para ahli di berbagai bidang terkait. E-learning jenis ini merupakan sebuah system informasi terstruktur yang dibentuk dalam Aplikasi E-Learning LMS. MAULIATE......
|
1. Tanda Tanya (?) Pada awalnya, dalam bahasa latin, untuk mengindikasikan pertanyaan, orang harus menuliskan kata "Questio" di akhir kalimat untuk menandakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tanya. Maka untuk menghemat tempat, kata tersebut akhirnya disingkat menjadi qo, yang kemudian dimampatkan lagi menjadi huruf q kecil diatas huruf o, yang akhirnya makin lama makin habis menjadi titik dan garis mirip cacing, persis seperti tanda tanya kita sekarang.
2. Tanda Seru (!) Seperti tanda tanya, awalnya juga dimulai dengan menumpuk huruf. Tanda ini berasal dari kata dalam bahasa Latin "io" yang berarti "seruan kegembiraan". ketika huruf i ditulis diatas huruf o, lama-lama dipersingkat seperti tanda seru kita sekarang ini.
3. Tanda Sama Dengan (=) Ditemukan oleh ahli matematika Inggris Robert Recorde pada 1557, dengan pemikiran seperti ini (dalam bahasa Inggris kuno) "I will settle as I doe often in woorke use, a paire of paralleles, or Gmowe [i.e., twin] lines of one length, thus : , bicause noe 2 thynges, can be more equalle." atau terjemahannya: "Aku akan menggunakan tanda ini seperti biasanya, sepasang garis sejajar, atau kembar dengan panjang yang sama, karena tidak ada dua hal lagi yang bisa lebih sama dengan dua garis sejajar ini." Tanda sama dengan asli temuan Robert setidaknya 5 kali lebih panjang dari yang kita kenal sekarang.
4. Ampersand (tanda "&") Simbol ini adalah bentuk stilir dari "et" dalam bahasa Latin yang berarti "Dan." Tanda ini ditemukan oleh Marcus Tullius Tiro, seorang penulis dari abad pertama di Roma. Nama Ampersand baru diberikan setelah 17 abad kemudian. Pada awal 1800-an, murid sekolah belajar simbol ini sebagai huruf ke 27 setelah Z, tapi masih tanpa mana. Jadi di awal 1800-an ini mereka belaar ABC dengan "and per se, and" yang berarti "&" dan kemudian karena saking cepatnya dibaca, akhirnya menjadi "ampersand"
5. Octothorp (tanda #) Nama aneh untuk tanda penomoran ini datang dari kata "Thorpe", kata dalam bahasa Normandia Kuno untuk desa atau tanah pertanian yang sering ditemui dalam bahasa Inggris untuk nama tempat. AWalnya digunakan untuk pembuatan peta, yang berarti desa yang di kelilingi delapan pertanian. Karena delapan (octa) dan pertanian (thorpe), maka muncul nama ini, Octothorp
Category: FUN |
Views: 507 |
Added by: dz1 |
Date: 2013 Apr 01
|
|
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu
sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu
vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu
vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies. Menurut beberapa bukti DNA,
letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari
jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia.
Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya pulau samosir.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr.
Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford,
Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup
spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs
itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah
letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu,
dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba.
Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut
meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan
dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul.
Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang
rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan,
daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung
berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di
seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu
Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti
bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera
kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari
sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu
itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli,
betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu.
Category: IPTEK |
Views: 477 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Mar 27
|
|
Category: FUN |
Views: 495 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Mar 05
|
|
Penerapan Metode Drill dalam Pembelajaran
Metode drill adalah suatu cara mengajar dimana siswa melaksanakan
kegiatan-kegiatan latihan agar memiliki ketangkasan atau keterampilan
yang lebih tinggi dari apa yang dipelajari.
Dalam buku Nana Sudjana, metode drill adalah suatu kegiatan melakukan
hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk
memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar
menjadi bersifat permanen. Ciri yang khas dari metode ini adalah
kegiatan berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama.
Dengan demikian terbentuklah pengetahuan-siap atau ketrampilan-siap yang
setiap saat siap untuk di pergunakan oleh yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk metode drill dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk teknik, antara lain teknik Inquiry (kerja kelompok), Discovery (penemuan), Micro Teaching, Modul Belajar, dan Belajar Mandiri.
Tujuan penggunaan metode drill adalah agar siswa:
- Memiliki kemampuan motoris/gerak, seperti menghafalakan kata-kata, menulis, mempergunakan alat.
- Mengembangkan kecakapan intelek, seperti mengalikan, membagi, menjumlahkan.
- Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan yang lain.
Penerapan metode drill dalam pembelajaran hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Sebelum diadakan latihan tertentu, terlebih dahulu siswa harus diberi pengertian yang mendalam.
- Latihan untuk pertama kalinya hendaknya bersikap diagnostik:
1) Pada taraf permulaan jangan diharapkan reproduksi yang sempurna.
2) Dalam percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul.
3) Respon yang benar harus diperkuat.
4) Baru kemudian diadakan variasi, perkembangan arti dan kontrol
- Masa latihan secara relatif singkat, tetapi harus sering dilakukan.
- Pada waktu latihan harus dilakukan proses essensial.
- Di dalam latihan yang
pertama-tama adalah ketepatan, kecepatan dan pada akhirnya kedua-duanya
harus dapat tercapai sebagai kesatuan.
- Latihan harus memiliki arti dalam rangka tingkah laku yang lebih luas.
1) Sebelum melaksanakan, siswa perlu mengetahui terlebih dahulu arti latihan itu.
2) Ia perlu menyadari bahwa latihan-latihan itu berguna untuk kehidupan selanjutnya.
3) Ia perlu mempunyai sikap bahwa latihan-latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar.
Kepustakaan:
Nana, Sudjana. 1991. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Muhaimin, Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya
Roestiyah, NK. 1989. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara
Winarno, Surakhmad. 1994. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito
Views: 431 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Feb 21
|
|
Teori Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi
Di samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme,
dan konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar
mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang
merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini,
dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai
variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis
sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang
bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang
telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis
memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati.
Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang
dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki
keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah
manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk
dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan
kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori
konvergensi.
Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai
aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada
berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan
pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan
intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang
terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran
empirisme, dan aliran konvergensi.
1. Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis
(pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir
telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran
nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan,
termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan
anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme
berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa
sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan
dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka
kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah
dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir
pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.
Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh
anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa "yang jahat akan menjadi jahat,
dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat
dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak
sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan
tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut
pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka
dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik,
maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini
tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman
1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan
pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya
inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari,
sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga
mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu
bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan.
Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan
anak dalam menuju kedewasaan.
2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri
= pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa
lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan
suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa
hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition
yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari
didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini
berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam
bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama
John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori "Tabula Rasa”, yakni
anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman
empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam
menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran
empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap
keberhasilan peserta didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan
behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar
sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu
terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan
oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3. Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju
satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan
individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan,
kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau
disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena
pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya,
maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka
tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan
tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai
bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai
kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut
tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang
ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk.
Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik
tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat
itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak
didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak
tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar
peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk
mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan
konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa
kedua aliran yang telah disebutkan (nativisme-empirisme) mempunyai
kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang
...
Read more »
Views: 499 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Feb 21
|
|
Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran Team Games Tournament (TGT) adalah suatu metode
pembelajaran kooperatif yang di dalamnya terdapat unsur permainan
akademik atau turnamen untuk mengganti tes individu. Sehingga siswa
tidak merasakan bosan karena ada unsur turnamen. Metode ini merupakan
bagian dari pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Hal
ini dijelaskan oleh Slavin bahwa pembelajaran kooperatif meliputi:
Student Team Achievment Division (STAD), Team Assisted
Individualization, Team Assisted Individualization, Cooperative
Integrated Reading and Composition, Jigsaw, Group Investigation,
Learning Together, Complex Instruction, Structur Dyadic Methods dan Team
Games Tournament.
Oleh karena itu, sebelum membahas lebih lanjut tentang teori
pembelajaran dengan metode Teams Game Tournament, maka akan dibahas
dahulu pembelajaran cooperatif (cooperative learning).
Langkah-langkah metode pembelajaran tipe Team Games Tournament, menurut
Slavin terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu: tahap Presentasi di kelas,
Tim, Game, Turnamen, dan Rekognisi Tim (Robert E. Slavin, 2001:
166-167).
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka pembelajaran
cooperative learning tipe team games tournament memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Tim
Tim terdiri dari empat, lima siswa atau lebih yang mewakili seluruh
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan
etnisitas. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua
anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk
mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik.
Setelah guru menyampaikan materinya tim berkumpul untuk mempelajari
lembar kegiatan lainnya. Yang paling sering terjadi pembelajaran itu
melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan
mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat
kesalahan.
b. Game
Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang
dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari
presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut dimainkan
di muka meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili
timyang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa nomor-nomor pertanyaan
yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah kartu
bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada
kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para
pemain saling menantang jawaban masing-masing (Robert E. Slavin,
2001:144).
Dalam permainan ini setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari
kelompoknya. Siswa yang mewakili kelompoknya, masing-masing ditempatkan
dalam meja-meja turnamen. Tiap meja turnamen ditempati 5, 6 orang siswa
atau lebih, dan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari
kelompok yang sama. Dalam setiap meja turnamen diusahakan setiap peserta
homogen.
Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah
itu permainan dimulai dengan membagikan kartu-kartu soal untuk bermain
(kartu soal dan kunci ditaruh terbalik di muka meja sehingga soal dan
kunci tidak terbaca). Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan
aturan sebagai berikut. Pertama, setiap pemain dalam tiap meja
menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang pertama dengan cara undian.
Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu undian yang berisi
nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan
membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain.
Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu
untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil
pekerjaannya yang akan ditangapi oleh penantang searah jarum jam.
Setelah itu pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya
diberikan kepada pemain yang menjawab benar atau penantang yang pertama
kali memberikan jawaban benar.
Jika semua pemain menjawab salah maka kartu dibiarkan saja. Permainan
dilanjutkan pada kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis
dibacakan, dimana posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap
peserta dalam satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal,
pemain, dan penantang. Disini permainan dapat dilakukan berkali-kali
dengan syarat bahwa setiap peserta harus mempunyai kesempatan yang sama
sebagai pemain, penantang, dan pembaca soal.
Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan
membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban
pada peserta lain. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain
dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan
berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. .
Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan
poin yang diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan
poin yang diperoleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah
disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh
kelompoknya.
c. Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur dimana game berlangsung. Biasanya
berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan
presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap
lembar kegiatan. Pada turnamen pertama guru menunjuk siswa untuk berada
pada meja turnamen 3, siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja
satu, tiga berikutnya pada meja dua dan seterusnya.
d. Rekognisi Tim
Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah
menghitung rerata skor kelompok. Untuk memilih rerata skor kelompok
dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh
masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok.
Pemberian penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oleh
kelompok tersebut. Dimana penentuan poin yang diperoleh oleh
masing-masing anggota kelompok didasarkan pada jumlah kartu yang
diperoleh.
Peran guru dalam menciptakan dan mengarahkan kegiatan pembelajaran
sangat dominan sehingga kualitas dan keberhasilan kegiatan pembelajaran
sering bergantung kepada kreatifitas guru dalam memilih dan menerapkan
model pembelajaran. Kreatifitas dan kemampuan dalam pemilihan model
pembelajaran merupakan kemampuan dan keterampilan mendasar yang harus
dimiliki guru. Hal ini didasari asumsi bahwa ketepatan guru dalam
memilih model pembelajaran akan berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa.
Kepustakaan:
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2005 E. Slavin, Robert. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa media, 2001 Hamruni. Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif-Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009 Suprijono, Agus. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM
...
Read more »
Views: 433 |
Added by: dazdo |
Date: 2013 Feb 21
|
|
| |
| | |
|
Search (mangalului) |
|
|
Calendar (ari-ari) |
« May 2024 » | Su | Mo | Tu | We | Th | Fr | Sa | | | | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 |
|
|
Entries (nahea ipamasuk) |
|
|
Other News |
|
|
Open Chat
|